Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah Melayu, Nur St. Iskandar diangkat menjadi guru. Selama menjalani profesi tersebut, ia belajar secara otodidak dari buku-buku, terutama mengenai bahasa Melayu dan bahasa Belanda.Tulisan-tulisannya pun sering dimuat dalam berbagai surat kabar di Padang.
Karir di Balai Pustaka diawali dengan bekerja sebagai korektor, kemudian sebagai redaktur dan redaktur kepala.Atas jasa-jasanya dalam, memperjuangkan kemerdekaan, Departemen Sosial menganugerahi tanda kehormatan Perintis Kemerdekaan. Penghargaan di bidang kebudayaan juga diperoleh dengan pemberian tanda kehormatan Satyalencara pada tahun 1961.
Seorang sastrawan yang produktif, Nur St. Iskandar menghasilkan tak kurang dari 82 judul buku. Karya pertamanya adalah Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922), disusul karya lain seperti Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928), Abu Nawas (1929), Hulubalang Raja (1934), Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1938), Mutiara (1946), dan Turun ke Desa (1956).
Nur St. Iskandar juga menulis bacaan bagi siswa sekolah, diantaranya Cerita Tiga Ekor Kucing, Pengalaman Masa Kecil, dan Cinta Tanah Air. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya penulis asing, diantaranya karya Alexander Dumas: Tiga Orang Panglima Perang, Dua Puluh Tahun Kemudian, dan Graaf de Monte Cristo.Karya terjemahannya yang lain adalah Imam dan Penghasilan oleh Sienkewich dan Cinta dan Mata oleh Rabindranath Tagore.